Sabtu, 19 Desember 2009

Ajari Aku Sindu

Istriku berkata kepada aku yang sedang baca koran, “Berapa lama lagi kamu baca koran itu? Tolong kamu ke sini dan bantu anak perempuanmu tersayang untuk makan.”

Aku taruh koran dan melihat anak perempuanku satu2nya, namanya Sindu, tampak ketakutan air matanya mengalir. Di depannya ada semangkuk nasi berisi nasi susu asam/yogurt (nasi khas India = curd rice). Sindu anak yang manis dan termasuk pintar dalam usianya yang baru 8 tahun. Dia sangat tidak suka makan curd rice ini. Ibu dan istriku masih kuno, mereka percaya sekali kalau makan curd rice ada “cooling effect”.

Aku mengambil mangkok dan berkata:
“Sindu sayang, demi ayah, maukah kamu makan beberapa sendok curd rice ini? Kalau tidak, nanti ibumu akan teriak2 sama ayah.”

Aku bisa merasakan istriku cemberut dibelakang punggungku. Tangis Sindu mereda dan ia menghapus air mata dengan tangannya dan berkata:
“Boleh ayah akan aku makan curd rice ini tidak hanya beberapa sendok, tapi semuanya akan aku habiskan, tapi aku akan minta…” agak ragu2 sejenak… “….akan minta sesuatu sama ayah bila habis semua nasinya. Apakah ayah mau berjanji memenuhi permintaanku? ”

Aku menjawab: “Oh, pasti sayang”.

Sindu: “Betul ayah?”

“Yah pasti..” sambil menggenggam tangan anakku yang kemerah mudaan dan lembut sebagai tanda setuju.

Sindu juga mendesak ibunya untuk janji hal yang sama, istriku menepuk tangan.
Sindu yang merengek sambil berkata tanpa emosi, “janji” kata istriku.

Aku sedikit khawatir dan berkata:
“Sindu, jangan minta komputer atau barang2 lain yang mahal yah, karena ayah saat ini tidak punya uang.”

Sindu: “Jangan khawatir, Sindu tidak minta barang2 mahal kok.”

Kemudian Sindu dengan perlahan-lahan dan kelihatannya sangat menderita, dia bertekad menghabiskan semua nasi susu asam itu. Dalam hatiku aku marah sama istri dan ibuku yang memaksa Sindu untuk makan sesuatu yang tidak disukainya..

Setelah Sindu melewati penderitaannya, dia mendekatiku dengan mata penuh harap dan semua perhatian (aku, istriku dan juga ibuku) tertuju kepadanya.

Ternyata Sindu mau kepalanya digundulin pada hari Minggu!

Istriku spontan berkata: “Permintaan gila, anak perempuan dibotakin, tidak mungkin!”

Juga ibuku menggerutu jangan terjadi dalam keluarga kita, dia terlalu banyak nonton TV. Dan program2 TV itu sudah merusak kebudayaan kita.

Aku coba membujuk: “Sindu, kenapa kamu tidak minta hal yang lain kami semua akan sedih melihatmu botak.”

Tapi Sindu tetap dengan pilihannya: - “Tidak ada ‘yah, tak ada keinginan lain.”

Aku coba memohon kepada Sindu:
- “Tolonglah kenapa kamu tidak mencoba untuk mengerti perasaan kami!”

Sindu, dengan menangis, berkata:
- “Ayah sudah melihat bagaimana menderitanya aku menghabiskan nasi susu asam itu dan ayah sudah berjanji untuk memenuhi permintaan aku. Kenapa ayah sekarang mau menarik perkataan Ayah sendiri? Bukankah Ayah sudah mengajarkan pelajaran moral,
bahwa kita harus memenuhi janji kita terhadap seseorang apapun yang terjadi seperti Raja Harishchandra (raja India jaman dahulu kala) untuk memenuhi janjinya raja real memberikan tahta, kekuasaannya, bahkan nyawa anaknya sendiri.”

Sekarang aku memutuskan untuk memenuhi permintaan anakku: - “Janji kita harus ditepati..”

Secara serentak istri dan ibuku berkata: - “Apakah aku sudah gila?”

Aku: “Tidak, kalau kita menjilat ludah sendiri, dia tidak akan pernah belajar bagaimana menghargai dirinya sendiri. Sindu permintaanmu akan kami penuhi.”

Dengan kepala botak, wajah Sindu nampak bundar dan matanya besar dan bagus.

Hari Senin aku mengantarnya ke sekolah, sekilas aku melihat Sindu botak berjalan ke kelasnya dan melambaikan tangan kepadaku sambil tersenyum aku membalas lambaian tangannya.

Tiba2 seorang anak laki2 keluar dari mobil sambil berteriak: “Sindu, tolong tunggu saya.”

Yang mengejutkanku ternyata kepala anak laki2 itu botak, aku berpikir mungkin “botak” model jaman sekarang.

Tanpa memperkenalkan dirinya, seorang wanita keluar dari mobil dan berkata:
“Anak anda, Sindu, benar2 hebat. Anak laki2 yang jalan bersama-sama dia sekarang, Harish, adalah anak saya, dia menderita kanker leukemia.”

Wanita itu berhenti berkata-kata, sejenak aku melihat air matanya mulai meleleh dipipinya:
“Bulan lalu Harish tidak masuk sekolah, karena chemotherapy kepalanya menjadi botak, jadi dia tidak mau pergi ke sekolah takut diejek oleh teman2 sekelasnya. Nah, minggu lalu Sindu datang ke rumah dan berjanji kepada anak saya untuk mengatasi ejekan yang mungkin terjadi. Hanya, saya betul2 tidak menyangka kalau Sindu mau mengorbankan rambutnya yang indah untuk anakku Harish. Tuan dan istri tuan sungguh diberkati Tuhan, mempunyai anak perempuan yang berhati mulia.”

Aku berdiri terpaku dan tidak terasa air mataku meleleh. Malaikat kecilku, tolong ajarkanku tentang arti sebuah kasih!

Benih

Suatu ketika, ada sebuah pohon yang rindang. Dibawahnya, tampak dua orang yang sedang beristirahat. Rupanya, ada seorang pedagang bersama anaknya yang berteduh disana. Tampaknya mereka kelelahan sehabis berdagang di kota. Dengan menggelar sehelai tikar, duduklah mereka dibawah pohon yang besar itu. Angin semilir membuat sang pedagang mengantuk. Namun, tidak demikian dengan anaknya yang masih belia. "Ayah, aku ingin bertanya..." terdengar suara yang mengusik ambang sadar si pedagang. "Kapan aku besar, Ayah? Kapan aku bisa kuat seperti Ayah, dan bisa membawa dagangan kita ke kota?" "Sepertinya", lanjut sang bocah, "Aku tak akan bisa besar. Tubuhku ramping seperti Ibu, berbeda dengan Ayah yang tegap dan berbadan besar. Kupikir, aku tak akan sanggup memikul dagangan kita jika aku tetap seperti ini." Jari tangannya tampak mengores-gores sesuatu di atas tanah. Lalu, ia kembali melanjutkan, "Bilakah aku bisa punya tubuh besar sepertimu, Ayah? Sang Ayah yang awalnya mengantuk, kini tampak siaga. Diambilnya sebuah benih, di atas tanah yang sebelumnya di kais-kais oleh anaknya. Diangkatnya benih itu dengan ujung jari telunjuk. Benda itu terlihat seperti kacang yang kecil, dengan ukuran yang tak sebanding dengan tangan pedagang yang besar-besar. Kemudian, ia pun mulai berbicara. "Nak, jangan pernah malu dengan tubuhmu yang kecil.
Pandanglah pohon besar tempat kita berteduh ini.
Tahukah kamu, batangnya yang kokoh ini, dulu berasal dari benih yang sekecil ini. Dahan, ranting dan daunnya, juga berasal dari benih yang Ayah pegang ini. Akar-akarnya yang tampak menonjol, juga dari benih ini. Dan kalau kamu menggali tanah ini, ketahuilah, sulur-sulur akarnya yang menerobos tanah, juga berasal dari tempat yang sama. Diperhatikannya wajah sang anak yang tampak tertegun. "Ketahuilah Nak, benih ini menyimpan segalanya. Benih ini menyimpan batang yang kokoh, dahan yang rindang, daun yang lebar, juga akar-akar yang kuat. Dan untuk menjadi sebesar pohon ini, ia hanya membutuhkan angin, air, dan cahaya matahari yang cukup. Namun jangan lupakan waktu yang membuatnya terus bertumbuh. Pada mereka semualah benih ini berterima kasih, karena telah melatihnya menjadi mahluk yang sabar." "Suatu saat nanti, kamu akan besar Nak. Jangan pernah takut untuk berharap menjadi besar, karena bisa jadi, itu hanya butuh ketekunan dan kesabaran." Terlihat senyuman di wajah mereka. Lalu keduanya merebahkan diri, meluruskan pandangan ke langit lepas, membayangkan berjuta harapan dan impian dalam benak. Tak lama berselang, keduanya pun terlelap dalam tidur, melepaskan lelah mereka setelah seharian bekerja.